BBM Naik lagi? Apakah ini hanya sebuah manuver politik atau memang kebutuhan masyarakat?
Pemerintah banyak mengkampanyekan alasan kenaikan BBM karena APBN jebol, Cadangan minyak kita habis, dan lainnya. Namun ada pertanyaan lain yang jarang dikampanyekan dan mungkin disadari banyak masyarakat terkait kenaikkan BBM ini, misalnya bagaimana kebijakan pendamping dari kenaikan BBM, bagaimana dampak terhadap stabilitas ekonomi mikro dan makronya, bagaimana nasib orang miskin Indonesia, bagaimana pengelolaan anggaran dana Pemerintah, APBN, dan masih banyak pertanyaan lain.
Berikut beberapa analisa dan tinjuan kami kawan-kawan mahasiswa ITS terhadap kenaikan BBM kali ini.
Pada tahun 2013 ini, pemerintah kembali mewacanakan penaikan harga BBM bersubsidi baik bensin (premium) maupun solar. Kenaikan direncanakan sebesar 2.000 rupiah / liter untuk bensin jenis premium sehingga menjadi 6.500 rupiah / liter. Sedangkan untuk solar akan mengalami kenaikan sebesar 1.000 rupiah / liter sehingga menjadi 5.500 rupiah / liter.
Dalam wacana ini, pemerintah mengklaim bahwa kebijakan ini akan dilakukan dipertengahan tahun 2013 menunggu persetujuan dari DPR tentang dana kompensasi yang dicairkan dalam bentuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).
Dalam kontestasi kebijakan ini, kekhawatiran pemerintah terhadap jebolnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi argumentasi sebagai dasar penerapan kebijakan ini. Pasalnya, cadangan (pagu) yang disediakan untuk menanggulangi defisit APBN semakin menipis. Pemerintah beranggapan bahwa subsidi BBM yang terlampau besar adalah penyebab utama dari permasalahan tersebut. Selain itu, argumentasi yang sering dikemukakan pemerintah untuk memperkuat penerapan kebijakan ini adalah ketidaktepatan penerimaan BBM bersubsidi.
Sebagai mahasiswa yang menyandang gelar kaum intelektual dan memiliki peran-fungsi social control, sudah sepatutnya mengkritisi kebijakan ini secara utuh. Terlebih lagi bahwa kebijakan ini merupakan kebijakan populis yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat terutama rakyat kecil. BEM ITS yang mewakili KM ITS dan sebagai wadah pergerakan mahasiswa akan memposisikan diri dalam
melindungi dan bergerak bersama rakyat.
Dalam naskah komprehensif ini akan dilakukan kajian kebijakan kenaikan BBM dengan berbagai perspektif. Diharapkan kajian ini mampu memberikan pandangan yang lebih luas terhadap kebijakan ini.
TINJAUAN DARI ASPEK EKONOMI MAKRO
Sebagai awalan, dalam konteks relevansi antara perspektif ekonomi makro terhadap kebijakan ini, penulis perlu mengingatkan agar jangan sampai terjebak dalam angka-angka semata. Hal ini dapat memberikan potensi pelemahan sikap kritis terhadap efek multidimensional yang akan dirasakan oleh masyarakat terutama rakyat kecil.
Fluktuatif harga minyak dunia dan bahkan cenderung melambung tinggi merupakan sebuah keniscayaan yang diakibatkan oleh semakin menipisnya cadangan minyak bumi di dunia. Kondisi tersebut kian diperparah dengan meningkatnya kepadatan penduduk dan laju pesat perekonomian yang berimbas kepada kebutuhan energi salah satunya adalah Bahan Bakar Minyak (BBM). Indonesia merupakan salah satu Negara yang sangat bergantung terhadap BBM. Alhasil, subsidi yang yang dikucurkan pemerintah melalui APBN untuk BBM ini kian membengkak. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar argumentasi kebijakan kenaikan BBMakibat kekhawatiran bahwa cadangan APBN tidak akan mampu menutup defisit yang terjadi akibat subsidi BBM yang membengkak. Dalam hal ini perlu kita kritisi, benarkah skema penerimaan dan pengeluaran APBN sudah tepat?
Sumber Penerimaan APBN yang Masih Lesu
Menurut Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 Tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013, disebutkan dalam pasal 3 ayat (1) bahwa Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013 diperoleh dari sumber-sumber :
a. penerimaan dan perpajakan;
b. PNBP; dan
c. penerimaan hibah
Menurut artikel Prakarsa Policy Review pada Bulan Maret 2012, disebutkan bahwa penerimaan pajak Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang tingkat ekonominya setara. Rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya berkisar 12%. Padahal rata-rata penerimaan pajak negara-negara yang termasuk dalam kelompok menengah bawah (lower middle income) seperti Indonesia mencapai 19%. Rasio pajak Indonesia bahkan di bawah rata-rata negara miskin (low income) yang sudah mencapai 14,3%.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012, penerimaan pajak Indonesia diproyeksikan mencapai Rp 1.033 triliun. Berdasarkan kategori negara berpendapatan menengah, dengan jumlah tersebut negara ini sebenarnya kehilangan potensi pajak sekitar Rp 512 triliun atau hampir 50%. Perkiraan konservatif International Monetary Fund (IMF), potensi pajak yang hilang juga lebih dari 40%. Hal ini menunjukkan bawah pemerintah tidak mampu memaksimalkan potensi pajak untuk kesehatan fiskal.
Review tersebut semakin diperkuat dengan pernyataan dari pemerintah sendiri :
Kementerian Keuangan menyatakan dari sekitar 22,6 juta badan usaha di Indonesia, hanya 500 ribu perusahaan yang taat membayar pajak.(Sumber :http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/239584-bi--bps--menkeu-kerjasama-data-ekspor-impor) "Dari data 110 juta usia dewasa yang sudah bekerja, baru sekitar 60 juta yang punya NPWP. Jadi masih ada 40 juta yang belum bayar pajak," ujar Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany (Sumber :http://m.merdeka.com/uang/baru-19-juta-orang-yang-taat-bayar-pajak.html)
Pengalihan Subsidi Energi Untuk Infrastruktur Hanya Teori Absurd
Pada APBN-P tahun 2012, subsidi BBM ditetapkan sebesar Rp 137,3 triliun, subsidi listrik Rp 64,9 triliun, dan cadangan fiskal energi sebesar Rp 23 triliun. Dengan demikian, total subsidi energi sebesar Rp 225 triliun. Hampir menyentuh angka 300 triliun. Ditambah lagi tren menunjukkan bahwa perencanaan anggaran untuk subsidi dengan realisasi mengalami defisit. Hal ini sering didengungkan pemerintah untuk memperkuat argumentasi bahwa subsidi untuk BBM harus dikurangi. Kenyaataan tersebut juga diolah pemerintah untuk membuat asumsi bahwa seharusnya subsidi sebesar itu dapat dialokasikan kepada sektor yang lebih pro rakyat seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dll.
Jika melihat postur antara penetapan APBN-P dan realisasinya tahun 2011 dan 2012, maka teori bahwa pengalihan subsidi BBM dapat dialihkan kepada sektor yang lain hanyalah teori absurd. Data rasio perencanaan dan realisasi APBN-P 2011 dan 2012
menunjukkan bahwa belanja modal yang didefinisikan sebagai pembelajaan Negara dalam rangka menghasilkan aset tetap termasuk pembangunan infrastruktur, realisasinya masing-masing hanya 83,6% dan 79,6%.
Hal ini sama sekali tidak mencerminkan bahwa dengan adanya pembatasan / penguran subsidi BBM maka pembangunan infrastruktur dan pembangunan pelayanan publik lainnya akan lebih digenjot. Bahkan dengan tidak adanya pengurangan subsidi BBM, tren menunjukkan belanja modal cenderung menurun. Hal ini dibenarkan oleh Kepala Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum, Hediyanto W. Husainibahwa belanja modal pemerintah untuk konstruksi hampir RP 300 triliun di tahun ini, tapi meski sudah pertengahan tahun, penyerapannya belum sampai 50%. (Sumber:http://industri.kontan.co.id/news/penyerapan-belanja-modal-kostruksi-baru-25)
Selain itu, fakta juga menunjukkan bahwa rasio jumlah belanja pegawai lebih besar daripada belanja modal. Pada tahun 2013, belanja pegawai dianggarkan sebesar Rp241,1 triliun. Sedangkan Dana Alokasi Umum (DAU) yang ditransfer ke daerah adalah Rp306,1 triliun. Sebagian dana DAU tersebut digunakan untuk belanja pegawai daerah. Sehingga total belanja pegawai bisa mencapai Rp500 triliun atau sepertiga dari total belanja pemerintah. Potensi pemborosan secara besar-besaran juga terlihat dari kunjungan-kunjungan kerja yang tak membawa hasil, belanja-belanja rutin yang tak optimal. Bahkan KPK memcatat pernah mencatatterhitung dari 20.000 kasus yang masuk tercatat 80 persen merupakan kasus pengadaanbarang/jasa dan itu bisa mencapai angka Rp 70 triliun tiap tahun.
Sudah sepantasnya pemerintah berkaca sebelum melemparkan argumentasi bahwa penyebab utama subsidi jebol adalah karena subsidi BBM yang tinggi. Jika memang demikian maka analogi yang tepat adalah pemerintah buncit, rakyat mencicit (kelaparan).
TINJAUAN DARI ASPEK KESEJAHTERAAN SOSIAL
Dalam kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi ini terdapat program ‘unggulan’ yang selalu menempel ketat sebagai paket kebijakan ini sejak tahun 2005, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT). Kali ini program tersebut telah berganti baju sebagai Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Pemerintah menjadikan program BLSM yang diklaim pro rakyat ini sebagai kompensasi dari kenaikan BBM.
Tepatkah BLSM Sebagai Solusi?
Dalam menilai ketepatan BLSM sebagai solusi, maka kita bisa menggunakan perbandingan program BLT tahun 2005 dan 2008. Lembaga Penelitian Smeru Research Institute pernah melakukan penelitian tentang evaluasi pelaksanaan BLT dan evaluasi penerima program BLT 2005. Dalam penelitian tersebut diperoleh kesimpulan yakni :
a) Program BLT masih relevan dan dapat membantu masyarakat miskin dalam mengatasi guncangan akibat kenaikan harga BBM. Meskipun masyarakat miskin merasa terbantu, sebagian aparat pelaksana program mengaku keberatan atas perlanjutan program ini dan menyarankan supaya program ini diganti dengan program pemberdayaan masyarakat.
b) Dukungan terhadap dilanjutkannya program BLT terlihat pula dari analisis BLT 2008 dan program, pengentasan kemiskinan lainnya. Sebagian besar responden rumah tangga penerima dan non penerima menilai program BLT 2008 paling bagus karena bisa langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan paling mendesak dan pelaksanaannya sudah jauh lebih baik daripada BLT 2005.
c) Masih terjadi ketegangan dan bahkan konflik di tingkat masyarakat, meskipun intensitasnya lebih rendah dibandingkan yang terjadi pada 2005. Konflik bersumber dari kecemburuan social dan tidak transparannya proses verifikasi penerima program. Di beberapa daerah konflik tersebut bisa diredam melalui mekanisme local, yakni dengan membagikan sebagian dana BLT kepada non penerima.
d) Pemotongan dana BLT terjadi di tingkat masyarakat dengan jumlah yang cenderung bertambah dan dilakukan secara sitematis. Keadaan ini tidak diantisipasi dan ditangani oleh aparat terkait, bahkan aparat cenderung menutup mata atas kondisi tersebut.
e) BLT tidak mengakibatkan kemalasan dan perubahan jam kerja rumah tangga sasaran. Jumlah dana yang terbatas dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam jangka pendek menyebabkan masyarakat miskin harus bertindak rasional dengan tetap bekerja untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat.
f) Masih terjadi kesalahan penetapan sasaran dan ketidaktercangkupan penerima BLT karena verifikasi tidak berjalan dengan semestinya.
Dalam penilitian ini menjelaskan adanya dampak positif terhadap program BLT.Namun dmpak negatif yang juga ditimbulkan yakni potensi korupsi yang masih besar seperti dijelaskan pada poin d.
Dampak-dampak negatif yang ditimbulkan juga harus menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah dan mahasiswa yang memiliki gerakan vertikal sebagai fungsi control terhadap pemerintah.
Benarkah BLSM Produk Empati Pemerintah Terhadap Masyarakat?
Pada saat rapat kerja pembahasan RAPBN 2013 di Komisi XI Jakarta, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) / Kepala Bappenas Armida Alisjahbana mengatakan bahwa jumlah orang miskin pada tahun ini akan naik dari 10,5 persen menjadi 12,1 persen. Terdapat kenaikan angka kemiskinan sebesar 1,6 persen atas dampak kenaikan harga BBM. Jikaberdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia per 31 Desember 2010 terhitung sebanyak 259.940.857 jiwa,maka penambahan 1,6 persen angka kemiskinan adalah sebanyak 4.159.053 jiwa. Masih dari keterangan Armida bahwa sebelumnya dengan asumsi harga bensin tetap Rp 4.500 per liter, tahun 2013 ini diprediksi angka kemiskinan hanya 26,250 juta. Dengan pertambahan sebesar 4 juta jiwa, maka angka kemiskinan kurang lebih dapat mencapai 30 juta jiwa. Jumlah itu sama dengan 340 kali kapasitas stadion Gelora Bung Karno. Sangat banyak!
Pemerintah berencana memberikan BLSM sebesar 150.000 rupiah per bulan selama 5 bulan. Idealnya, 30 juta jiwa yang tergolong penduduk miskin seperti yang dijelaskan sebelumnyamendapatkan dana kompensasitersebut. Namun berdasarkan hasil kesimpulan rapat komisi VIII yang dibacakan oleh Wakil Ketua Sayed Fuad Zakaria dari Fraksi Golkar disebutkan bahwa anggaran program BLSM sebesar Rp12,009 triliun itu merupakan anggaran lima bulan, yang terdiri dari bantuan tunaiRp 11,64 triliun untuk 15.530.897 orang, safeguarding sebesar Rp 361 miliar untukkebutuhan imbal jasa PT Pos dua tahap sebesar Rp 279,55 miliar,percetakan danpengiriman lembar sosialisasi program oleh PT Pos sebesar Rp 70,46 miliar, danuntuk Operasional koordinasi sebesar Rp 10,98 miliar. Itu artinya peruntukkan BLSM hanya untuk melindungi 50 persen masyarakat miskin. Sisanya akan terkatung-katung menunggu guratan nasib akibat pemerintah yang lalai.
Fakta lain yang lebih mencengangkan dari keterangan Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) adalah bahwa pemerintah mengucurkan dana sebesar 38,1 triliun ke Lembaga Moneter Internasional (IMF). Dana sebesar itu digunakan pemerintah untuk kenaikan kuota suara keanggotaan Indonesia di lembaga tersebut. Dana ini jauh dibandingkan dana untuk BLSM. Ini menjadi bukti bahwa pemerintah lebih mencintai dan tunduk pada asing daripada berupaya menyejahterakan rakyatnya sendiri.
Pembatasan atau Pencabutan Subsidi BBM?
Dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 menunjukkan bahwa total pengeluaran rumah tangga untuk premium sekitar 3.2% dari total pengeluaran rumah tangga. Kelompok Rumah tangga yang lebih mampu lah yang mengkonsumsi premium dengan volume lebih besar.Sekitar 60% rumah tangga adalah pengguna premium, dengan perbandingan
volume konsumsi bensin pada 3 kelompok rumah tangga :
Dari 60% rumah tangga memiliki kendaraan (roda-2, roda-3, roda-4 atau lebih),perincian sebagai berikut:
Jika melihat data diatas, maka benar dikatakan bahwa BBM bersubsidi lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat yang mampu atau yang biasa dikatakan oleh pemerintah sebagai subsidi tak tepat sasaran. Namun sebatas permasalahan yang diangkat adalah ketidaktepatan sasaran BBM bersubsidi, seharusnya pemerintah melakukan pembatasan bukan pengurangan atau pencabutan secara bertahap.
Perlu diketahui bersama bahwa Indonesia masih memiliki indeks / rasio gini yang besar. Artinya, kesenjangan pendapatan antara mampu dan kurang mampu masih memiliki disparitas yang besar. Hal ini dibenarkan oleh pemerintah sendiri melalui Pemerintah melalui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas, Armida Alisyahbana yang tidak membantah sinyalemen bahwa kesenjangan eknomi di Indonesia semakin lebar. Armida mengakui semakin tingginya angka rasio gini (gini ratio) Indonesia, yang biasanya digunakan sebagai indikator kesenjangan antara kelompok masyarakat berpendapatan teratas dengan kelompok masyarakat berpendapatan terendah. Semakin besarnya rasio gini menunjukkan kesenjangan semakin parah.
Rasio gini memiliki indeks antara 1-0. 1 jika persebaran pendapatan merata. Sedangkan 1 adalah kesenjangan mutlak. Artinya, jika ditinjau dari aspek ini, maka pemerintah seharusnya tidak memukul rata harga BBM bersubsidi. Dalam data diatas indeks gini cenderung naik. Ada kalanya pemerintah juga harus mempertimbangkan daya beli masyarakat kalangan menengah ke bawah yang masih membutuhkan BBM bersubsidi yang terjangkau.
Sebenarnya pemerintah telah melakukan pembatasan tersebut dengan mengesahkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI Nomor 1 Tahun 2013. Namun ketidakonsistensian dan keseriusan pemerintah kembali digugat. Fungsi kontrol dan pengawasan sangat minim sehingga terjadi kebocoran dan bahkan seakan-akan kebijakan tersebut ‘mandul’. Namun demikian, sejatinya kami juga mengakui bahwa dalam pelaksanaan dan pengawasan dalam pemberlakuan 2 hargaakan menemukan kesulitan bahkan cenderung terjadi kebocoran-kebocoran tertentu. Namun itulah seharusnya fungsi pemerintah. Merencanakan kebijakan terbaik yang seharusnya berpihak kepada rakyat demi kemakmuran Indonesia.
TINJAUAN DARI ASPEK HUKUM DAN TATA KELOLA ENERGI
Indonesia yang mencitrakan sebagai Negara hukum sudah semestinya segala kebijakan yang diambil berlandaskan kebenaran yuridis seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3). Dalam menganalisa kebijakan kenaikkan harga BBM ini rasanya perlu jika melihat legal standing yang ada.
Amanat Konstitusi yang Selalu Terciderai
Kita tentu sudah sangat fasih membaca bahkan menghafalkan substansi UUD 1945 pasal 33 ayat (3) yang berbunyi Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemerintah telah berhasil mensosialisasikan pasal ini dan membantu kita mengingatnya dengan cara melakukan negasi terhadap pasal tersebut. Alhasil, setiap terjadi huru-hara dalam tata kelola energi, pasal ini selalu muncul menjadi dasar argumentasi bantahan kebijakan neoliberal yang diterapkan pemerintah, termasuk dalam menyikap kebijakan kenaikan harga BBM. Kebijakan tata kelola energi yang
neoliberal semakin diperjelas dengan hadirnya produk hukum Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas). Mahkamah konstitusi dalam hal ini yang memiliki wewenang dalam mengintepretasikan perundang-undangan, memutuskan dalam putusan nomor 002/PUU-I/2003 bahwa Pasal 28 ayat (2) yang berbunyi : HargaBahanBakarMinyakdan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehatdanwajar, bertentangan dengan UUD 1945 yang implikasinya membuat pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa pemerintah telah tunduk terhadap korporasi asing. Dalam hal ini terlihat bahwa harga minyak di Indonesia harus taat terhadap peraturan atau kesepakatan harga minyak dunia. Kesepakatan harga bahan bakar migas diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar ternyata diimplementasikan pemerintah dalam catatan yang dipadukan secara rapi di New York Mercantile Exchange atau yang biasa disingkat dengan NYMEX. Bangsa Indonesia yang mengeruk hasil dan kekayaannya dari perut bumi nya sendiri harus membayar harga yang ditentukan oleh NYMEX.
Putusan MK terhadap Pasal 28 ayat (2) dalam UU No. 22 Tahun 2001 yang dianggap inkonstituonal terhadap UUD 1945nyatanya tidak membuat bergeming. Acuan pengurangan subsidi akibat dari harga minyak dunia masih dipakai pada Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2004 Pasal 27 yang masih berbunyi : Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi, kecuali gas bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.
Belakangan ini muncul artikel dari Kwik Kian Gie yang cukup mencengangkan bagi kita semua bahwa subsidi BBM yang diterapkan pemerintah hanyalah sebuah skema kebohongan publik. Substansi pembahasannya senyawa dengan amar putusan MK bahwa seharusnya minyak bumi dan gas hasil perut tanah Indonesia, harus tunduk terhadap harga minyak dunia. Subsidi yang seharusnya menjadi dana bantuan bagi rakyat, hanya digunakan untuk menutup kerugian Negara akibat mengikuti harga minyak dunia. Seharusnya jika kita cermat, simulasi yang diberikan oleh Kwik Kian Gie memberikan arti bahwa pencabutan subsidi BBM merupakan sebuah kebijakan inkonstituonal.
Mandulnya Penegakkan Hukum Terhadap Penyelewangan BBM Bersubsidi
Dalam Peraturan Presiden RI Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu, telah jelas substansi Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 yang menunjukkan ketentuan titik serah distribusi. Namun nyatanya, penyelewengan dan kebocoran banyak terjadi. Pertaminalah yang bertanggung jawab terhadap permasalahan ini. Staf Ahli Tata Ruang dan Wilayah Sekretariat Kabinet Surat Indrijarso menyatakan bahwa penggunaan BBM bersubsidi di SPBU-SPBU untuk transportasi darat paling banyak hanya mencapai 30%, sedang sisanya yang 70% tidak jelas entah kemana, bisa dipakai untuk industri baik kecil, menengah, maupun besar.(Sumber :http://www.infobanknews.com/2012/05/10-bbm-bersubsidi-bocor-setelah-keluar-dari-depo-pertamina/)
Selain terdapat kebocoran dalam pendistribusiannya, penyelewengan juga sering dilakukan oleh masyarakat yakni dengan menjual bensin eceran. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001Tentang Minyak dan gas bumi, pada Bab XI pasal 55 Tentang Pidana yang berbunyi : Setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah). Hukum ini seharusnya dipertegas dengan menindaklanjuti oknum-oknum dalam kalangan masyarakat yang menjual BBM
eceran. Tentunya dalam menempuh ketegasan ini perlu dilakukan penyuluhan dan sosialisasi agar masyarakat mengerti duduk perkaranya.
Jago Perencanaan dan Pewacanaan, Minim Implementasi :
Ironi Keseriusan Pemerintah Dalam Pengelolaan Energi
Menurut Lembaga Kajian untuk Reformasi Pertambangan, Energi, dan Lingkungan Hidup (ReforMiner Institute) cadangan minyak bumi itu akan habis 11 tahun lagi. Bahkan saat ini Indonesia bukan lagi sebagai salah satu Negara dengan cadangan minyak minyak terbesar di dunia, namun sudah menjadi Negara importir! Bahkan impor minyak Indonesia sudah masuk dalam ambang batas mengkhawatirkan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, untuk Maret 2013 saja, angka impor BBM Indonesia mencapai US$ 2,11 miliar atau sekitar Rp 20 triliun. Nilai ini turun dari angka impor BBM di Februari 2013 yang sebesar US$ 2,65 miliar.Kebutuhan dan produksi telah mngalami defisit. Produksi minyak Indonesia diperkirakan hanya mencapai 900.000 barel / hari. Sedangkan kebutuhan / permintaan minyak telah menembus angka 1,2 juta barel / hari. Defisit tersebut menyebabkan Indonesia harus mengimpor minyak untuk menunjang kebutuhan Nasional. Sayangnya, melihat kondisi ini tidak membuat pemerintah menjadi sadar. Ketidakberanian pemerintah dalam melakukan Renewal Agreement terhadap perusahaan-perusahaan asing, terus membekaskan lara pada tanah ibu pertiwi yang ters dikuras kekayaannya dan bukan untuk kemakmuran rakyat.
Disisi lain, sebenarnya pemerintah telah merencanakan beberapa program untuk menuju proses diversifikasi diantaranya pembangunan mega proyek 10.000 Mega Watt (MW) tahap I dan tahap II, memperbesar riset mengenai mobil listrik, hingga pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) telah dilakukan. Akan tetapi, proyek-proyek tersebut seakan jalan ditempat karena mengalami berbagai permasalahan. Dalam konteks permasalahan ini, pemerintah seperti sedang melakukan kebijakan ‘latah’ yang tidak mempertimbangkan aspek-aspek erroryang mampu menghambat percepatan diversifikasi. Itulah mengapa muncul persepsi di masyarakat bahwa pemerintah hanya jago perencanaan dan pewacanaan, namun minim implementasi.
Jika infrastruktur diversifikasi saja belum siap, bagaimana bisa pemerintah menyiksa rakyat dengan penyesuaian harga BBM hingga keekonomiannya? Akhirnya kembali rakyat yang menjadi korban. Mereka akan jatuh kepada kebimbangan dan ketidakpastian tentang harus menggunakan sumber energi mana yang dapat terjangkau oleh mereka?
Pada dasarnya kenaikan harga BBM menjadi sebuah keniscayaan ketika harga minyak di Indonesia masih mengacu pada harga minyak dunia. Namun berdasarkan kajian yang dilakukan dalam multidimensional tersebut, BEM ITS berpendapat bahwa terjadi ketidakadilan kebijakan terhadap masyarakat kecil dalam rencana kenaikan BBM ini.Oleh karena itu, kami memberikan 5 bantahan terhadap argumentasi pemerintah yakni :
1. Bahwa tidak benar jika jebolnya APBN merupakan semata-mata akibat dari besarnya subsidi untuk energi, dalam hal ini adalah BBM. Nyatanya sektor penerimaan belum optimal dan pengeluaran masih belum efisien.
2. Pengurangan subsidi secara seragam bukan merupakan solusi terbaik jika ditinjau dari rasio gini yang masih besar di Indonesia. Hal ini mampu memukul daya beli masyarakat kalangan menengah ke bawah dan membesarnya angka kemiskinan. Terlebih lagi rencana kebijakan kenaikan harga BBM ini akan diterapkan ketika menjelang ramadhan dan tahun ajaran baru yang dapat memberikan dampak inflasi yang besar.
3. Tidak ada kepastian bahwa kebijakan kenaikan harga BBM ini dapat meredam populasi jumlah kendaraan bermotor dan menjadikan proporsi yang lebih baik terkait pihak yang layak mendapatkan subsidi. Disisi yang sama pemerintah belum siap melakukan diversifikasi BBM ke BBG. Hal ini hanya membuat kegamangan masyarakat kecil yang masih membutuhkan BBM dalam harga yang terjangkau.
4. BLSM bukan merupakan solusi terbaik untuk antisipasi jangka pendek. Apalagi rencana kuota yang diberikan hanya 50 persen dari proyeksi membesarnya angka kemiskinan akibat kenaikan harga BBM. BLSM bukan merupakan program empati pemerintah! Pemerintah justru mencintai asing daripada rakyatnya sendiri dengan kucuran dana sebesar 38,1 triliun. Jauh dibandingkan dana BLSM yang jelas dipergunakan untuk melindungi rakyatnya dalam jurang kemiskinan.
5. Jika ditinjau dari putusan MK nomor 002/PUU-I/2003, kebijakan kenaikan harga BBM ini merupakan kebijakan pro neoliberal dan berpotensi inkonstitusional terhadap UUD 1945.
Berdasarkan konsideran di atas maka, BEM ITS MENOLAKrencana kenaikan harga BBM
yang hanya akan menyengsarakan rakyat kecil. Oleh karena itu, sebagai mahasiswa yang memiliki peran-fungsi social control terhadap pemerintah, BEM ITS akan mengajukan tuntutan yang termaktub dalam Demarkasi Keadilan Bagi Rakyat Kecil.
DEMARKASI KEADILAN BAGI RAKYAT KECIL
Atas nama mahasiswa ITS dan seluruh lapisan elemen masyarakat yang meyakini bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Saya sebagai Presiden BEM ITS berdiri untuk menuntut demarkasi dari keadilan bagi rakyat kecil, demarkasi dari ototitarian pemerintah, demarkasi dari neoliberalisme dan kapitalisme kebijakan Perihal Rencana Kenaikan BBM
Dengan ini kami menuntut kepada Bapak Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan pihak-pihak yang terkait secara serius, untuk :
1. Tinjau ulang rencana kenaikan BBM dengan segala konsepnya.
2. Ciptakan sistem perpajakan progresif untuk kendaraan bermotor guna penekanan laju populasi kendaraan bermotor.
3. Optimalkan penerimaan dan efisiensi (penghematan) pengeluaran anggaran belanja.
4. Percepat pengembangan energi alternatif dan infrastrukturnya untuk kepentingan nasional yang pro rakyat.
5. Percepat pembangunan transportasi massal dalam skala nasional dengan mempertimbangkan aspek keamanan, kenyamanan, dan biaya yang terjangkau.
6. Penegakkan hukum terhadap pelaku penyelewengan BBM bersubsidi termasuk mafia migas
7. Tingkatkan kesejahteraan rakyat dengan program perberdayaan masyarakat untuk mendukung konsep kemandirian ekonomi dalam Negeri.
BEM ITS tidak akan berhenti dalam mengkaji dan melakukan pengawalan terhadap kebijakan energi. Terlebih jika kebijakan pemerintah telah menindas rakyat yang seharusnya berada dalam perlindungan Negara.
HIDUP MAHASISWA!
HIDUP RAKYAT INDONESIA!
Surabaya, 16 Juni 2013
Zaid Marhi Nugraha
Presiden BEM ITS 2012/2013
Kemudian di sisi lain masih ada banyak lagi dampak dari kenaikan BBM kali ini (semoga masih bisa menulis kelanjutannya)....
Rakyat menunggu eksekusi........
ReplyDeletewis kejet2 sih di idak2...
Iya mas, kita juga sudah menyampaikan aspirasi langsung ke mereka
Deletesaya secara pribadi pun masih belum mengerti, mengapa realisasi anggaran di pemerintahan itu kurang digunakan sepenuhnya. tp dalam hal BBM kurasa ditahan sebagaimana pun pastilah akan naik juga jika memang apbn sudah tidak mampu lagi, apa kita harus menghancurkan pos anggaran lain hanya demi Barang yang akan dibakar?
ReplyDeletekurasa benar adanya jika subsidi itu seperti tumor yang terus berkembang yang mana mereka akan terus mengembang sampai tubuh tak mampu lagi bertahan, dan hanya satu cara untuk keluar dari itu yaitu membuang tumor itu.
jadi smpai kapan kita menunggu tumor itu diangkat? yang pada akhirnya pasti diangkat juga
dan juga 1 hal lagi, pendapatan perkapita indonesia terus meningkat jd asumsinya BBM itu selama ini terus menurun bukannya stagnan.
Ya memang Kenaikan harga BBM seperti halnya tumor,cuma timor itu juga perlu waktu yg tepat buat diangkat, perlu pengondisian fisik pasien sebelum operasi. Ibarat seperti kata Gubernur BI bahwa fasenya sangat tidak tepat kalau Juni ini, karena ini lagi tinggi2nya inflasi, menjelang ramadan dan lebaran. Mungkin di bulan Januari/Februari menjadi fase yg cukup tepat, karena pas itu rendah, kata Agus Martowardoyo. Di sisi lain, kebijakan pendamping kenaikan BBm kurang optimal realisasinya, BBG tidak jalan optimal, sarana prasarananya masih sangat kurang, Pemanfaatan Geothermal masih jauh dari realisasi karena faktor investor yg 'malas' ngasih dengan tawaran 'keuntungan' yang rendah, dan aspek lain di bidang migas. Memang kebutuhan BBM makin lama meningkat, dan cadangan migas di sumur produktif semakin rendah, namun potensi lain masih cukup besar di sumur2 baru dan sumur tua yang dikelola dengan teknik baru, walau teknologi kita juga tetap belum memadai untuk itu.
DeleteDek... Dek, Anda dan himpunan anda itu dibayar berapa sih sama partai politik ? Dari cara mengkaji dan meninjaunya jelas ini bukan kajian anak teknik.
ReplyDeleteSampeyan anak ITS apa bukan? Kalau iya, kenapa kesimpulan sampeyan hanya seputar seperti "ditinjau dari putusan MK nomor blablabla garing blablabla" atau "Pasal X ayat (X) dan Pasal Y, yang blablabla"?
Mana peninjauan dari segi produksi, teknis, ekonomi teknik, dll yang berdasarkan pada data2 real saat ini? yang dibahas malah hanya data2 BLT, konsumsi, dll. Anak teknik seharusnya membandingkan input dan outputnya sehingga tau mana yang tidak balance.
Dan ini kalian sampaikah atas nama anak ITS? haduh makin kacau himpunan jaman sekarang.
Terima Kasih
Regard.
Terimakasih mas atas masukan dan kritiknya
Delete1. Tidak ada yang membayar kami, tentang kajian kami, kami mengkaji dari data yang bisa kami jangkau
2. Iya saya anak ITS, Bidang Study Geofisika
iya karena data yang kami peroleh dari sisi "pemerintah seharusnya seperti apa berdasarkan aturan yang dibuatnya sendiri" ini tentang konsistensi dan pentingnya "gak main2 sama peraturan untuk rakyat"
Oya mas misal panjenengan punya data2 yang bisa kami jadikan acuan tambahan dalam kajian silahkan di share, sangat kami butuhkan
dan ini juga bentuk real realisasi UU KIP no 14 tahun 2008 yang DILANGGAR oleh pemerintah sendiri, al hasil kita gak bisa "benar" mengawal berjalannya pemerintahan, dan "rakyat" terus menerus dibohongi
KSJSS, monggo ditanggapi
Wooo bagus lah dikasih data-data.
Delete1. Coba dikasih data berapa persen minyak yang dihasilkan di Indonesia dan berapa yang harus diimpor dari luar negeri.. Biar anak teknik bisa membandingkan kan..
2. Kalau pajak progesif udah ada dek, coba di cek kembali
3. Masalah kurang optimal penerimaan dan pengefisiensian anggaran belanja coba tolong dijelaskan soalnya selama kuliah saya cuman dapet ekonomi teknik
4. Energi alternatif antara cost yang dibutuhkan dengan energi yang dihasilkan apakah sudah lebih efisien daripada penggunaan BBM bersubsidi? Klo nggak masyarakat pasti lebih memilih BBM yang bersubsidi
5. Transportasi massal jakarta sudah mau melakukan percontohan sabar aja kalau itu
6. Adek ngomong mafia migas kasihan lo temen saya yang kerja di SKK migas, buktikan dulu ada mafia migas jangan asal comot.
7. Pemberdayaan masyarakat bisa dicapai dengan adanya dunia pendidikan yang lebih baik saya kira g sinkron dengan kenaikan BBM
nyoh, sing ahli migas datang.
DeleteMantap.... pernyataan sikap didahului dengan analisis yang lengkap. Vivat ITS
ReplyDeleteBaik, Terima kasih tanggapannya.
ReplyDeleteBagus, anda berani dan bangga dengan almamater. Memang bagus sekali memikirkan rakyat sekitar, setuju saya. Tapi apakah anda hanya berfikir secara kosumen (output)? apakah tidak dpikirkan juga sisi produsen (input)? coba pikirkan kedua hal itu, jangan mengaitkan dengan pemerintah, itu hanya penyeimbang.
Untuk data, banyak sekali bertebaran data 2012 tentang produksi dan kondisi real tentang perminyakan di kampus. Coba saja cari, saya pastikan ada. Kalau tidak ketemu, minta alumni, pasti dikasih, masih ndak dapat? saran saya cuma 1, perluas koneksi anda, dimana koneksi nantinya akan memperluas pemikiran. oke mohon maaf atas kritikannya.
Terima Kasih
Salam