7:38 PM
0
Setelah yang lalu saya menuliskan apa yang saya tahu tentang bertaaruf  (perkenalan) dan ber nazhar (melihat)   sesuai syar'i dan sunnah, sebagai bimbingan untuk kita yang berencana menikah dengan benar. Maka tahap berikutnya adalah ketika kita sudah benar-benar mantap dengan semua informasi yang kita tahu dari calon pasangan, yah kita masuk ke tahapan peminangan atau pelamaran atau khitbah. Beberapa tuntunan al Quran dan Sunnah dalam hal ini antara lain sebagai berikut.



Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya. 

Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Jadi baru setelah tahap inilah si wanita itu menjadi 'perlindungan' dari laki-laki lain yang berniat menikah dengannya, dengan meminang/melamarnya. Sedang jika masih di dua tahap sebelumnya masih belum 'terlindung' dari pinangan laki-laki lain.
Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya). ” (HR. Al-Bukhari no. 5144)

Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:

الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ
“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan). ”

Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)

Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi (asing/belum halal), sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)

Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat mendatangkan fitnah. Karenanya, ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Lalu apa jawaban Syaikh rahimahullahu? Beliau ternyata berfatwa, “Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, hukumnya haram pula. ” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, 2/748)


Yang perlu diperhatikan oleh wali

Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:

1. Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar. ” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)

2. Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya
Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu. Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya. ” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)

Jadi dalam hal ini perlu benar-benar diperhatikan sikap si wanita ketika telah masuk fase krusial ini, diam dan perkataannya menentukan jawaban darinya. Jika memang sudah mantap dan berkehendak dengan si peminang/pelamar maka silahkan dijawab setuju atau diam. Namun jika memang tidak mantap atau ingin menolak, hendaklah MEWUJUDKAN PENOLAKANNYA.

Wallahu'alam..

Oleh : 

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Recent Post