maka bisa kita lihat hampir semua filmnya menampilkan kultur dasar yang ada di Mandarin dengan gaya rambut kepang, kepala botak bagian depan, kungfu tradisional, penggunaan pedang tipis ala wu-shu dan sebagainya. Contoh lain kita ambil India, kalau kita amati film-film lawas dari bolliwood selalu menampilkan sosok "inspektur Vijay dengan pistol revolver, kumis tebal, dan mobil JIP lawasnya", karakter bernama "Raju, Chote, dan lainnya" tak lupa adegan "agak panas" dengan tariannya. Dari dua bangsa ini sangat terlihat ketika dulu tingkat kualitas film dan grafisnya masih rendah, dengan berkembangnya kualitas hidup dan perkembangan IPTEK di masyarakatnya kedua bangsa ini juga mengalami perkembangan kualitas perfilman yang signifikan. Sampai hari ini di tahun 201xan berbagai genre film mulai berkembang di kedua bangsa itu, kualitas grafis, dan pesan moral dari filmnya juga semakin meningkat.
Terangkai sebuah mimpi besar dengan logika yang sama dengan paragraf di atas. Ketika kualitas perfilman di Indonesia semakin meningkat meningkat pula kualitas hidup dan IPTEK di Indonesia yang sedang menangis dengan krisis moral ini. Miris ketika beberapa waktu lalu perfilman di Indonesia berada di zona keterpurukan dengan maraknya produksi film-film horor "dewasa" yang berbau "pornografi dan pornoaksi", atau film horor yang benar-benar merendahkan martabat "hantu" Indonesia.
Memang tidak bisa kita tampik ketika melihat Film Bima Satria Garuda masih ada sisi kerjasama dengan pendahulu pemproduksi film superhero BANDAI dan beberapa kru dari Jepang langsung. Namun sebenarnya kita bisa membuat film-film itu lebih berkualitas dengan kayanya budaya kita. Kita bisa mengambil latar cerita dari sejarah kita dengan berbagai kultur daerahnya. Tentunya dengan kemasan yang lebih baik tidak seperti salah satu stasiun TV swasta yang selalu menampilkan "hal-hal khayal" seperti naga, elang, dan semacamnya. Kita sangat kaya dengan pencak silat yang merupakan beladiri ASLI INDONESIA, kita punya latar alam yang sangat kaya dan cerita daerah serta kerajaan masa lalu. Tidak harus meniru banyak terhadap Amerika dan Jepang yang selalu menampilkan latar gedung-gedung besar, yang intinya boleh kita terinspirasi dan membawa budaya luar, namun JANGAN sekali-kali kita melupakan identitas dan potensi kita sendiri.
Selang tujuh tahun kemudian giliran lahir Gundala Putra Petir (1981,
Lilik Sudijo) dari tangan sineas kita. Kisahnya seputar Sancoko (Teddy
Purba), seorang ilmuwan bergelar insinyur, berubah jadi Gundala, sang
pahlawan berkekuatan super. Awalnya, Sancoko diam-diam menyuntikkan
cairan anti petir. Hasilnya luar biasa. Tubuhnya jadi tahan terhadap
arus listrik dan punya kekuatan luar biasa hal ini juga berkat bimbingan
gurunya, Dewa Petir (Pitrajaya Burnama). Kehebatan Sancoko sampai ke
telinga Gasul (WD Mochtar), seorang gembong narkotik. Bersama beberapa
kawannya Gasul menculik Sancoko, memintanya menciptakan ramuan heroin
sintetis. Minarti (Anna Tarias), tunangan Sancoko, dan Prof. Saelan (Ami
Prijono) ikut diculik. Sancoko tetap bungkam dan menolak permintaan
kawanan penjahat itu. Belakangan diketahui, dalang kejahatan itu Ir.
Agus (August Melasz) rekan Sancoko sendiri.
Rama Superman Indonesia lahir empat tahun lebih dulu dari film Superman (1978) karya Richard Donner yang mempopulerkan Christopher Reeve sebagai Superman. Di Amerika sana, Superman versi layar lebar hadir menandai era kebangkitan film-film superhero. Sebelumnya, genre ini kurang dilirik sineas Amerika. Kisah superhero hanya cocok jadi tontonan televisi di rumah (serial televisi Superman dan Batman populer di tahun 1950-an dan 1960-an).
Kisah Superman layar lebar berlanjut hingga sekuel keempat di tahun
1980-an. Semakin bilangannya bertambah, kisah Superman versi layar
lebar makin rendah mutunya dan orang mulai jenuh dengan kisah manusia
super dari planet Krypton ini. Meski begitu, bukan berarti genre ini
ikut jenuh. Hollywood lantas menyodorkan sosok superhero baru Batman
(Tim Burton) di penghujung 1980-an. Sosok Batman kemudian hadir
sepanjang dekade 1990-an. Namun, lagi-lagi sekuel Batman makin buruk
(rilisan 1997 [Batman & Robin] malah dianugerahi Razzie Awards, Oscar-nya film-film buruk).
Hollywood lantas berpaling pada Spider-Man (2002, Sam Raimi). Si manusia laba-laba ini membangkitkan kembali kegairahan membuat film superhero di Hollywood. Usai Spider-Man sukses besar, berturut-turut hadir versi layar lebar Hulk, The X-Men, Dare-Devil, The Punisher, Elektra, Cat Woman, hingga Iron Man. Superman dan Batman sendiri di-reboot alias dipermak ulang untuk penonton generasi 2000-an (Superman Returns, Batman Begins, The Dark Knight). Di luar film-film superhero yang tergolong mainstream di atas, Hollywood berkreasi merilis film superhero yang tak lazim. Untuk ini kita perlu menyebut The Incredibles (2004, film superhero bertema keluarga), My Super Ex-Girlfriend (2006, film superhero di-mix and match dengan komedi romantis), dan terakhir Hancock (2008, film superhero dengan penggambaran pahlawan super yang lebih sering bikin masalah buat orang banyak hingga butuh perawatan segala).
Fenomena di atas tak terjadi di Indonesia. Kelahiran kisah Superman
versi Indonesia tak membangkitkan sineas lain untuk mengeksplorasi
genre ini lebih jauh. Terbukti, sejak Rama hadir film-film bergenre superhero hanya muncul sesekali. Selain Gundala Putra Petir, ada DarnaAjaib (1980, Lilik Sudijo) yang berkisah tentang anak ajaib berkekuatan super. Lalu hadir pula Manusia 6 Juta Dollar (1981, Ali Shahab) dan Gadis Bionik (1982, Ali Shahab). Dua film yang disebut terakhir ini lahir menyusul kepopuleran serial televisi populer waktu itu. Manusia 6 Juta Dollar merupakan versi parodi dengan Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro) sebagai bintang utamanya. Sedangkan Gadis Bionik memasang (keseksian) Eva Arnaz sebagai jualan utama.
Genre superhero tak pernah jadi genre populer. Bahkan hingga sekarang, saat sineas kita merilis lebih dari 40-an film dalam setahun. Kita sudah melihat beberapa film anak-anak, puluhan film horor dan percintaan remaja, belasan komedi seks, dan film religius. Tapi, film superhero? Sepertinya, belum ada produser yang berminat membuatnya.
Mengapa begitu? Sebelum menjawab pertanyaan utama itu, ada baiknya
menjawab pertanyaan yang ini dulu: mengapa produser era ’70-an dan awal
’80-an memutuskan membuat film superhero?
Anda harus mengerti dulu iklim perfilman di tahun-tahun itu untuk
menjawabnya. Memasuki 1970-an, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang
bertujuan memajukan perfilman nasional. Kala itu, Menteri Penerangan
Budiardjo mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 40/Kep/Mempen/1971 yang
lazim disebut SK 71. Isinya, pemerintah memberi pinjaman pada produser
sebesar setengah ongkos produksi film yang sedang mereka buat, dengan
jumlah maksimal pinjaman Rp 7,5 juta (angka yang lumayan besar di tahun
1971). Keputusan ini disambut hangat kalangan produser. Terbukti,
angka produksi film melonjak dari 21 film di tahun 1970 naik jadi 52
pada 1971.
Di satu sisi, kebijakan ini terbukti meningkatkan jumlah produksi
film. Namun, di sisi lain peningkatan kuantitas tak diikuti dengan
peningkatan kualitas. Misbach Yusa Biran, sebagaimana dikutip Salim
Said, mengeluhkan lahirnya banyak film yang “mutunya makin lama makin
sulit dipertanggungjawabkan.” Pangkal soalnya, SK 71 ini melahirkan para sineas dadakan. Kebutuhan
akan tenaga perfilman serba cepat berdampak pada banyak bermunculan
tenaga baru yang tak berpengalaman dan minim pengetahuan. Alhasil, film
yang mereka hasilkan pun ala kadarnya, kebanyakan buruk.
Nah, di tengah situasi seperti itu lahir Rama Superman Indonesia. Tidak ada catatan yang menyebutkan film ini bermutu baik. Buku KatalogFilm
susunan JB Kristanto (2005) tak menyebutkan film ini mendapat
penghargaan FFI maupun disebut sebagai film laris. Sejarah pun mencatat,
dampak kebijakan pemerintah yang mengakibatkan booming film,
belakangan disambut dingin penonton. Orang makin jarang ke bioskop
karena tahu lebih banyak film Indonesia yang jelek dari hari ke hari.
Mereka baru akan menonton film Indonesia bila filmnya betul-betul baik.
Film impor keluaran Hollywood, Hong Kong, atau India lebih jadi pilihan
tontonan. Kejemuan orang pada film Indonesia, membuat banyak produser
merugi. Produksi film nasional kembali melorot.
Situasi ini mendorong para sineas bereaksi. Akan tetapi, alih-alih
memperbaiki mutu film yang mereka bikin, kebanyakan sineas
mengkambinghitamkan banjirnya film impor. Protes ini didengar
pemerintah. Di jaman Menteri Penerangan Mashuri keluar Surat Kepututusan
Menteri Pemerangan No. 51/Kep/Menpen/1976 yang mewajibkan importir
film memproduksi film sebagai syarat untuk memasukkan film dari luar
negeri. Kebijakan ini terbukti meningkatkan jumlah produksi film
nasional. Pada 1977-1978 Direktorat Film Departemn Penerangan
mengeluarkan 100 surat izin produksi film. Rupanya, importir yang jadi produser film dadakan ini tak mau
melepaskan usahanya mengimpor film luar negeri. Demi mendapat ijin
memasukkan film impor, mereka rela jadi produser film.
Namun, lagi-lagi sejarah berulang. Banyak film, bukan berarti pula
mutunya bagus-bagus. Produser film dadakan, yang “terpaksa” jadi
produser lantaran ingin usahanya mengimpor film tetap jalan, dituding
jadi biang kerok rendahnya mutu film nasional. Waktu itu produser yang
importir film ini dituduh membuat film asal jadi.
Sepeninggal Mashuri, giliran Ali Murtopo jadi menteri penerangan
(dilantik Presiden Soeharto pada 1978). Ali Murtopo membebaskan para
importir film dari kewajiban membuat film. Akibatnya, produksi film
merosot. Salim Said mencatat, Ali tampaknya ingin terlebih dulu
membersihkan dunia film Indonesia dari film-film bermutu rendah.
Film-film yang dibuat golongan “produser terpaksa”. Ali Murtopo lantas
mengadopsi kebijakan yang pernah dilakukan pendahulunya di awal Orde
Baru, yakni membiayai film yang disebut proyek percontohan “seperti apa
film yang baik itu”. Pada awal 1980-an proyek percontohan Ali Murtopo menghasilkan 5 film: Sorta, Titian Serambut Dibelah Tujuh, Halimun, Lima Sahabat, dan Woyla.
Film superhero macam Gundala, Darna Ajaib hingga Gadis Bionik
lahir di saat iklim perfilman mulai membaik dalam arti importir film
yang jadi produser dadakan tak lagi diwajibkan membuat film. Namun,
bukan berarti pula budaya membuat film asal jadi ikutan sirna. Gadis Bionik dan Manusia 6 Juta Dollar tak lebih dari reaksi latah produser film melihat kepopuleran serial televisi Bionic Woman dan The Six Million Dollar Man di TVRI saat itu. Sedangkan Gundala sebentuk reaksi sineas melihat komik yang tengah digandrungi masyarakat untuk kemudian di angkat ke layar lebar.
Sah-sah saja mengangkat serial televisi atau komik ke layar lebar.
Hollywood sudah lama melakukannya. Yang jadi persoalan, bila di
Hollywood sana versi layar lebar dari komik atau serial televisi
memberi pengalaman sinematik berbeda saat diangkat ke layar lebar, tak
demikian dengan film-film superhero yang disebut di atas. Film superhero buatan lokal kalah jauh dari segi teknologi. Gundala, misalnya, efek visualnya ketinggalan jaman dibanding film Superman pertama yang hadir 3 tahun sebelumnya.
Bila ditilik, pangkal soalnya terletak pada uang. Membuat film superhero sungguhan tidaklah murah. Adegan yang memperlihatkan sang jagoan mengeluarkan kekuatan supernya membutuhkan dana yang tak sedikit. Sekedar tipuan kamera sederhana macam serial televisi Superman di tahun ’50-an jelaslah sudah usang. Di awal tahun 1970-an, film Indonesia dibuat dengan bujet rata-rata belasan juta rupiah. Di penghujung ’70-an rata-rata film nasional berbujet 40-an juta rupiah—film yang bujetnya ratusan juta rupiah sudah sangat mahal waktu itu. Angka-angka itu terlihat kecil bila dibandingkan film superhero bikinan Hollywood. Situs IMDB mencatat film Superman (1978) berbujet 55 juta dollar Amerika.
Bujet membuat film superhero kini makin spektakuler. Film The Dark Knight
berbujet 150 juta dollar Amerika. Itu jumlah standar di Hollywood sana
untuk film yang membutuhkan banyak aksi spektakuler. Namun, sineas
film-film superhero lain berani mengambil resiko dengan angka di atas 200-an juta dollar. Sekadar contoh, X-Men: The Last Stand (2006) berbujet 210 juta dollar, Spider-Man 3 (2007, $ 258 juta dollar), dan Superman Returns (2006, $ 270 juta).
Angka-angka itu masih terlalu tinggi untuk ukuran film-film
Indonesia sekarang. Rata-rata film Indonesia saat ini dibuat dengan
bujet 2-3 miliar rupiah. Film yang dibuat di atas 5 miliar rupiah
terhitung sedikit (Ayat-ayat Cinta konon dibuat dengan bujet 5 miliar rupiah, Gie konon berbujet 7 miliar rupiah).
Di luar urusan uang, film superhero tak pernah benar-benar mengakar di jagad film nasional. Buktinya, sejarah mencatat kita hanya pernah melahirkan beberapa film superhero. Bila ditelusuri lebih jauh, kisah superhero
bahkan bukanlah khas Indonesia. Mitologi pewayangan Mahabharata dan
Ramayana yang sudah kita akrabi berabad-abad memang menyebutkan
jagoan-jagoan berkekuatan super (Gatotkaca dan Hanoman, misalnya).
Namun, apa yang disebut superhero muncul dan berkembang di tahun 1970-an lewat komik-komik lokal. Gundala, Godam, dan kawan-kawannya tumbuh subur di era itu.
Hanya saja, superhero lokal tak lebih dari tiruan atau versi lokal dari jagoan-jagoan superhero Amerika. Goenawan Mohamad pernah memaparkan kalau Gundala dan Godam (serta beberapa tokoh superhero
komik lokal lainnya) mirip ”saudara”-nya di Amerika sana. Godam mirip
Superman dan Captain Marvel. Jika Captain Marvel adalah penjelmaan
penjual koran miskin, yang kemudian bekerja di radio, yang dengan
berteriak ”Shazam!” berubah jadi pria perkasa; Godam, karya Wid N.S.,
sehari-hari adalah supir berwajah buruk bernama Awang. Tiap kali ada
kejahatan dan ia merasa perlu menolong, ia mengenakan cincin sakti lalu
berubah jadi Godam.
Sedangkan Gundala mirip Captain America. Gundala, karya Hasmi,
berpakaian hitam-hitam berupa kaus ketat yang menutupi seluruh tubuh
dan sebagian wajahnya. Kepalanya pun tertutup kedok hitam, dengan
hiasan sayap atau bulu di masing-masing kupingnya (konon, sayap di
kuping itu perlambang sayap burung garuda, lambang negara kita). Kostum
ini mirip Captain America. Bedanya, Gundala tertutup pakaian warna
gelap sedang Captain America—yang muncul di masa menjelang Perang Dunia
II ketika patriotisme Amerika memuncak—berwarna merah-putih-biru,
warna bendera Amerika.
Baik Godam dan Gundala amat digemari di tahun ’70-an. Komik superhero
telah menggantikan kepopuleran komik cerita silat di tahun sebelumnya.
Saat komik silat populer, dunia film ikutan latah membikin versi
filmnya. Komik Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes TH difilmkan pada 1970 dengan bintang Ratno Timoer. Pola serupa rupanya terjadi pula pada komik superhero. Meski hanya Gundala yang resmi diadaptasi ke film, besar kemungkinan film lainnya, seperti Rama, dibuat setelah melihat komik superhero populer di masyarakat.
Masalahnya, ya itu tadi, film superhero lokal tak memberi
pengalaman sinematis berarti pada penonton. Efek visualnya tak lebih
tipuan kamera sederhana. Alhasil, orang jadi malas menontonnya.
Buntutnya, filmnya tak laku. Dan kalau sudah tak laku, akan sulit
mengharapkan ada produser lain membuat film sejenis. Padahal, ini
budaya produser Indonesia sejak dulu. Sebuah film populer akan
melahirkan epigon berupa film bergenre sejenis. Bukankah itu yang
terjadi pada Jelangkung dan Ada Apa dengan Cinta? Beberapa tahun lalu, dan Quickie Express serta Ayat-ayat Cinta sekarang?
Film-film itu telah melahirkan banyak film ikutan. Produser kita yang
kebanyakan bermental pedagang memandang film murni sebagai barang
dagangan. Cara berpikir mereka sederhana. Jika melihat dagangan tetangga
sebelah laku, dagangan yang sama mereka jual juga.
Padahal, jika menganggap film-film Hollywood sebagai tetangga
sebelah, mestinya produser kita tergoda pula untuk ikut membuat film superhero. Film superhero keluaran Hollywood terbukti menguntungkan. Menurut data IMDB, untuk peredaran di seluruh dunia Spider-Man 3 memperoleh keuntungan lebih dari 885 juta dollar Amerika. Film Batman terbaru, The Dark Knight langsung bertengger di nomor satu box office.
Modal yang dikeluarkan Warner Bros., produsernya, sudah balik belum
sampai sebulan, bahkan berlipat jadi 314 juta dollar Amerika menurut
data IMDB hingga akhir Juli 2008.
Apa produser kita tak tergoda dengan angka-angka itu? Mestinya sih
iya. Hanya saja, saya rasa tak ada produser kita yang berniat membuat
film berbujet 100 juta dollar Amerika hingga saat ini. Mungkin juga
mereka belum sekaya itu. Kecuali para pengemplang BLBI berniat jadi
produser film. Kita mungkin akan melihat film superhero lokal yang tak kalah spektakuler dari trilogi Spider-Man.
Lalu, bagaimana dengan kelanjutan film Gundala yang katanya akan
edar Juni tahun depan? Maaf, sepertinya kabar itu diragukan
kebenarannya. Majalah Cinemags edisi Juli memuat surat pembaca yang bertanya soal kebenaran kabar film Gundala. Redaksi Cinemags meragukan kebenaran kabar itu. Cinemags menulis, jika ditelusuri nama-nama yang tercantum tidak dikenal dan sosoknya tidak ada.
Situs yang memuat kabar itu sepertinya buatan fans Gundala yang
mengharap betul versi filmnya hadir kembali—dengan kualitas tak kalah
dari film superhero bikinan Hollywood. Keinginan pembuat situs itu adalah keinginan kita bersama. Ya, kita sudah gerah dengan film horor cupu dan mulai bosan dengan komedi seks murahan. Bapak-bapak para
pengemplang BLBI, adakah dari Anda yang berniat jadi produser film?
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.