4:05 PM
1
Birokrasi kampus ITS dan Pemerintah Indonesia era ini ,
Apakah seperti ini?
Beberapa hari ini di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, hangat dibicarakan tentang kebijakan birokrasi yang diambil dari kesepakatan para Ketua Jurusan dan rektorat mengenai Orientasi Mahasiswa baru 2013 yang hanya 1 minggu. Namun tidak bisa dipungkiri kebijakan ini hanyalah satu diantara berbagai kebijakan yang diambil "yang berwenang". Sebelum bebicara banyak tentang pola pengambilan kebijakan birokrasi ini sedikit quote saya ambil dari sebuah film.
Kalau anda nonton film Fast 5 (Vin Diesel, Dwayne “The Rock” Johnson, dll) ada tokoh antagonis. Seorang pengusaha jahat yg menguasai Brazil.
Di salah satu adegan, tokoh jahat ini berkata “Saya tidak suka dengan cara anda berbisnis. Anda bisnis dengan kekerasan. Kalau rakyat anda serang dengan kekerasan kelak mereka akan melawan balik. Karena mereka terdesak. Saya, memilih untuk memberikan mereka uang. Saya beri mereka “kemewahan” yang tidak bisa mereka dapatkan sebelumnya. Dan bisa mereka dapatkan kini lewat saya. Uang, pendidikan, kesehatan. Saya beri kepada mereka. Kini, saya MEMILIKI mereka. Mereka ingin terus merasakan hal hal yang saya berikan. Maka mereka jadi setia kepada saya”




Dari quote dalam film Fast 5 ini tersirat sebuah pesan tentang bagaimana metode mendominasi suatu masa dalam masyarakat dengan secara tidak langsung "membohongi" atau "membodohi" masyarakat itu sendiri. Dimana ada suatu komunitas (pengusaha jahat yang beraktifitas kriminal) yang ingin mengondisikan masyarakat di sekitarnya dengan berbagai fasilitas, rasa nyaman, dan kenikmatan sesaat dari tangan mereka. Dalam konsep ini si penguasa benar-benar mengkondisikan proses datang mereka kepada masyarakat ibarat munculnya sinar matahari pagi yang dinanti setelah gelap pekatnya malam menyelimuti. Masyarakat dibuat agar merasa "inilah penolong kami, inilah yang kami tunggu selama ini" dengan berbagai kemudahan dan kenikmatan yang mereka terima. Di sisi lain tetap tidak bisa dipungkiri bahwa usahanya (dalam konteks di atas si pengusaha jahat) tetap menjadi usaha yang salah dan haram yang menyengsarakan masyarakat itu sendiri. Hanya keuntungan pribadi dan golongan tertentu saja yang diprioritaskan dalam metode ini, dengan "berani" mengambil resiko buruk terhadap masyarakat luas.

Secuplik cerita dari film Fast 5 itu menjadi sebuah pelajaran penting jika kita memandang kejadian sosial di sekitar kita. Mari kita "melihat" kejadian di Indonesia dan beberapa kejadian di kampus Indonesia, salah satunya di ITS.

Birokrasi Indonesiaku, Indonesiamu, dan Indonesia KITA
Beberapa waktu ini berlangsung pesta rakyat atau biasa dikenal dengan PEMILU untuk menentukan siapa yang menjadi Walikota, Bupati, Gubernur di berbagai daerah. Masing-masing calon benar-benar gila-gilaan menyerukan janji-janji manis jika mereka yang terpilih menjadi pimpinan daerah itu. Seperti layaknya kutipan di atas, selalu diambil sebuah metode yang bertujuan untuk menyenangkan rakyat yang akan memilihnya. Berbagai usaha dilakukan, mengadakan konser dangdut, jalan sehat, acara makan bersama, santunan, dan lainnya hanya untuk menarik simpati palsu dari rakyat itu sendiri. Bahkan benar-benar busuk mereka yang berani menjadi agama sebagai alat menarik simpati rakyat agar memilihnya, mengadakan pengajian, acara keagamaan dan tetap mengarahkan rakyat untuk mendukung mereka. Suatu tindakan yang sebenarnya menjatuhkan nilai dan kesucian agama itu sendiri saat dakwah yang harusnya membawa muatan suci dan ajakan bertaqwa pada Alloh SWT menjadi sebuah alat menghasut demi kepentingan busuk.

Tidak berhenti di situ, beberapa saat setelah terpilih si pimpinan tadi akan mengumbar-umbar berbagai aktifitas yang seakan menjadi "pahlawan" bagi rakyat itu. Mereka tidur, makan, blusukan bersama rakyat. Mereka berupaya mengambil hati rakyat di awal masa kepemimpinannya dengan kebijakan-kebijakan baru yang seakan pro rakyat, sangat membantu dan sebagainya. Membuat kesan di mata rakyat seakan dia benar-benar banyak berkorban dan tidak mengikuti keinginannya sendiri dalam menjabat, dan terus mendengar dan mengikuti maunya rakyat. Bebagai upaya pencitraan media, kampanye keberhasilan di awal kepengurusan dan seluruh capaian yang pernah diraih seakan menjadi senjata ampuh untuk melakukan "brain wash" terhadap rakyat yang mereka naungi.

Setelah dirasa rakyat benar-benar menerima mereka dan "tunduk" dengan seluruh kebijakan yang mereka ambil, tibalah suatu masa dimana mereka menunjukkan wajah asli dari "penguasa" itu sendiri. Mereka yang sebelumnya telah banyak berkorban baik waktu, tenaga, pikiran dan "UANG" sampai di suatu titik dimana mereka merubah cara pandang menjadi penguasa. Yang sebelumnya memandang penguasa itu adalah "PENGABDIAN" menjadi cara pandang baru sebagai "PROFESI dan PEKERJAAN" yang membawa berbagai konsekuensi logis dari perubahan cara pandang ini. Karena memang kekuasaan/jabatan dipandang sebagai PROFESI dan PEKERJAAN, maka tidak salah bila mereka menjadikan tujuan utama profesi adalah PROFIT, atau keuntungan pribadi. Mulailah berbagai penyimpangan dan pengkhianatan amanah dilakukan di berbagai sisi, dari waktu kerja, semangat dalam memikirkan rakyat dan berbagai pertimbangan objektif dalam mengambil kebijakan bagi rakyatnya. Semangat untuk memperkaya diri dan mendapat keuntungan dari jabatan atau kekuasaan yang dimiliki menjadi satu-satunya tujuan dalam ber-Profesi.

Akhirnya sampailah suatu keadaan dimana para pemegang amanah ini menjadi "musuh" dari rakyat yang dulu dibuatnya benar-benar tunduk di bawah kakinya. Dia akan memanipulasi berbagai data dan pemberitaan jika memang itu menyangkut keburukan dari penguasa itu, dia akan membuang bahkan menghilangkan semua bukti dan saksi mata atas perbuatan buruk yang dia lakukan. Semua aktifitas ini dikemas sedemikian rupa agar rakyat tadi tetap tidak tahu tentang keburukan si penguasa, dan tetap "patuh" pada penguasa yang mereka anggap sebagai "matahari yang terbit dari ufuk timur, yang membawa cahaya dan kehangatan".

Jika pengondisian yang dilakukan si penguasa tadi benar-benar berhasil, maka akan tiba suatu masa rakyat akan secara sukarela dan "membabi buta" dalam membela dan mendukung si penguasa tadi tanpa peduli baik buruknya si penguasa itu. Di sisi lain pasti tetap ada rakyat yang benar-benar masih kritis dan objektif menghadapi keadaan penguasanya. Dalam kondisi ini, maka yang tidak bisa terhindarkan adalah terjadinya ketegangan antar rakyat yang saling berbeda pandangan terhadap penguasa. Pertikaian dan peperangan antar komunitaspun tidak bisa dihindari, walau sebenarnya ada beberapa oknum yang sedang tertawa ria melihat gejolak pertikaian itu.

Bagaimana dengan birokrasi Kampusku? 
(mungkin juga berlaku birokrasi kampus lain)

Hal yang juga tidak jauh berbeda terjadi di birokrasi dalam lingkup kampusku. Dalam periode pengurus baru yang pertama kali diawali dari proses yang cukup demokratis dengan adanya kampanye dan pemilihan rektor ITS. Diawali dengan adanya 74 guru besar yang berkesempatan menjadi rektor dengan berbagai kriterianya, terdapat 48 bakal calon berasal dari guru besar dan sisanya dari S3 yang akhirnya berebut menjadi calon rektor. Di masa itu para kandidat memaparkan berbagai janji dan programnya yang sangat unggul baik untuk bidang riset, kepegawaian, kemahasiswaan dan hubungan luar. Dari para kandidat ada yang lebih mengunggulkan sisi risetnya, sisi kepegawaian, maupun sisi hubungan luarnya. Kejadian ini cukup unik terjadi mengingat pada dasarnya peraturan yang mengatur mekanisme penetapan rektor ITS tidak ada hubungannya dengan para karyawan dan mahasiswa, sesuai Peraturan Mendiknas Nomor 24 Tahun 2010 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah, pemilihan rektor memang dilakukan melalui forum bersama dengan perimbangan 65 persen suara senat dan 35 persen suara Mendiknas. Di ITS, porsi 35 persen setara dengan 56 surat suara. Namun pada kenyataannya di ITS terjadi hal yang unik ketika dilakukan kampanye dan pemilihan dari seluruh civitas akademika ITS mulai dari mahasiswa, karyawan dan dosen.

Dari proses pemilihan yang cukup panjang dengan berbagai polemik yang ada di dalamnya (berbagai berita ada di sini ) akhirnya ditetapkan Prof Dr Ir Triyogi Yuwono sebagai rektor terpilih ITS. Tidak jauh dengan uraian di atas, di awal kepengurusan periode Pak Yogi ini benar-benar seperti matahari yang terbit di ufuk timur pagi hari, menjawab berbagai kebutuhan dan keinginan rakyatnya. Di sisi kemahasiswaan dikampanyekan bahwa birokrasi akan selalu mendukung mahasiswa dalam bergerak dan berkarya, termasuk kaderisasipun dilegalkan (sebelumnya semu legal dan ilegal). Birokrasi benar-benar memposisikan diri menjadi kawan dekat mahasiswa ITS kala itu, berbagai kebutuhan dana, kebutuhan bantuan dan lainnya di support oleh birokrasi. Pengondisian yang cukup baik dari birokrasi kepada rakyat atau civitas akademikanya, seakan semua terlayani dengan baik.

Di tahun 2012 mulai muncul beberapa tahap lanjutan dari siklus birokrasi seperti yang saya sebutkan di atas. Dulu birokrasi yang selalu mendukung dan mengiyakan konsep mahasiswa mulai mengambil jarak. Tuntutan untuk dilakukannya transparansi dana dan kebijakan ITS yang mengacu pada UU KIP no 14 tahun 2008 mendapat respon yang cukup tidak baik dari birokrasi dengan sulitnya komunikasi dan akses data tersebut. Di sisi lain juga terkuak kasus korupsi yang dilakukan rektor ITS yang diduga menerima sejumlah uang dari tersangka kasus korupsi Angelina Sondakh, selain itu juga beredar isu adanya aliran dana dari kemendikbud RI ke ITS yang tidak menggunakan jalur yang benar (nama lain dari korupsi). Juga berbagai kejadian di ITS maupun yang tersiar ke luar tentang kebijakan rektorat ITS yang tidak "semesra" dulu pas awal kepengurusan.

Pada tahun 2013 ini, juga terjadi hal-hal yang cukup unik di lingkungan ITS. Meningkatnya tingkat kehilangan kendaraan bermotor membuat mahasiswa resah dan menawarkan solusi untuk dibukanya parkiran ITS 24 jam. Berikutnya tentang kritisisasi kawan-kawan mahasiswa terkait fasilitas umum dan olahraga di ITS yang berbayar, meski yang menggunakan adalah civitas akademikanya sendiri, dan berbagai kasus yang lain. Namun lagi-lagi ini tidak berjalan "semesra" dulu, berbagai alasan dan berbelit menjadi kendala. Ujungnya berbagai permasalahan itu tidak ada ujung solusi dan pemecahannya. 

Terbaru, seperti yang di awal saya sebutkan bahwa masahsiswa ITS hari-hari ini sedang hangat membicarakan tentang kebijakan "SEPIHAK" yang dikeluarkan birokrasi rektorat dan para kajur terkait orientasi mahasiswa baru ITS 2013. Kebijakan yang santer terdengar bahwa orientasi mahasiswa baru hanya 1 minggu. Saya tidak akan membahas dalam tentang isi kebijakannya, karena sudah saya kupas di sini. Saya akan mengupas tentang cara pengambilan kebijakan itu yang SANGAT TIDAK BIJAK.

Cara pengambilan kebijakan orientasi mahasiswa baru 2013 yang hanya satu minggu ini benar-benar tidak bijak. Kawan-kawan KaHIMA benar-benar merasa dikadali atas undangan yang diberikan pihak birokrasi. Pada surat tertanggal 12 Juli 2013 yang ditandatangi oleh P Bambang Sampurno (kepala Badan Pembinaan Kemahasiswaan dan Hubungan Alumni ITS) jelas tertulis bahwa undangan itu beragenda diskusi lanjutan forum tanggal 1 Juli 2013. Dalam undangan untuk forum antara Ketua Jurusan (KaJur), Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (Kahima), Kepala departemen (Kadept) PSDM BEM Fakultas, Menteri PSDM BEM ITS, dan TKK ITS jelas tertulis demikian yang dilaksanakan pada hari Selasa 16 Juli 2013 di Ruang Sidang Rektorat lantai 1. Namun betapa kagetnya ketika tersampaikannya forum itu sebagai forum diskusi, lalu dibuka dengan sambutan dan cerita dari Herman Sasongko, Ir., Dr.Ing. selaku Pembantu rektor I bidang kemahasiswaan dan akademik. Beliau menceritakan sebuah pengalaman masa lalunya yang pernah hampir membuat mati seseorang dengan sebuah pecahan botol hingga akhirnya terganjal untuk mendapat surat keterangan kelakuan baik dari kepolisian. Berikutnya beliau menyampaikan bahwa forum itu adalah forum sosialisasi bukan diskusi, "Sekarang bukan waktunya lagi untuk diskusi, sekarang waktunya mensosialiasikan keputusan yang dirasa menjadi kebaikan untuk semua!" Benar-benar terasa sambutan beliau menjadi sebuah intimidasi kepada seluruh peserta forum yang hadir siang itu. Ujungnya seluruh isi forum menjadi cukup tegang dan tidak ada lagi sesi diskusi antar peserta forum.

Meski demikian di akhir, Bambang Sampurno, Ir., MT., Dr. menyampaikan permohonan maaf dalam sebuah pertemuan tertutup di ruang beliau di kantor Badan Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan (BAAK) karena berubahnya forum yang sebelumnya diniatkan untuk diskusi menjadi sebuah sosialisasi.

Sebuah simpulan akhir yang ingin saya sampaikan adalah,"
Apapun kebijakan yang diambil, meski itu baik atau bahkan mulia sekalipun jika dilakukan dan disampaikan dengan cara yang tidak baik semua akan tetap berkesan BURUK. Akan lebih bijak ketika semua itu dikomunikasikan dengan bijak, santun dan penuh kehangatan dalam sebuah keluarga.
Terkahir dalam tulisan ini saya sampaikan dan saya berharap. Semoga analogi yang saya bawa di awal tulisan ini, cerita tentang birokrasi pemerintahan kita, siklus kepemimpinan dalam demokrasi tidak benar terjadi di kampus ini. Sebuah siklus yang mengajarkan kepada manusia tentang tidak baiknya sebuah fase kepemimpinan yang diawali dari sebuah janji manis, matahari yang terbit dari ufuk timur, namun  ujungnya tetap menikam rakyatnya sendiri. Biarlah kebaikan dan kehangatan keluarga itu muncul dan wujud dari awal kepemimpinan hingga akhir perpisahan semuanya.

1 comments:

  1. keren mas tulisannya, semoga pihak birokrasi juga ikut membaca :D

    #SalamUntukTerusBerkarya

    fullerena.blogspot.com

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Recent Post