Perjalanan Kerja Praktek di Pertamina Geothermal Energy Kamojang, Bandung
Pagi itu Sabtu 19 Oktober 2013 terasa agak berbeda dari biasanya, entah kenapa sejak pagi saya merasa berdebar dan ada yang mengganjal. Yah mungkin karena memang saat itu saya sudah memegang tiket kereta Kahuripan dari Madiun menuju Kiara Condong-Bandung seharga Rp 50.000,00 yang berangkat pukul 15.45 WIB. Sebenarnya ada kereta Pasundan yang berangkat dari Surabaya seharga Rp 55.000,00 namun Pasundan tiba di Kiara Condong tengah malam, sedang Kahuripan sekitar hubuh.
Pagi itu Sabtu 19 Oktober 2013 terasa agak berbeda dari biasanya, entah kenapa sejak pagi saya merasa berdebar dan ada yang mengganjal. Yah mungkin karena memang saat itu saya sudah memegang tiket kereta Kahuripan dari Madiun menuju Kiara Condong-Bandung seharga Rp 50.000,00 yang berangkat pukul 15.45 WIB. Sebenarnya ada kereta Pasundan yang berangkat dari Surabaya seharga Rp 55.000,00 namun Pasundan tiba di Kiara Condong tengah malam, sedang Kahuripan sekitar hubuh.
Contoh Tiket cuy..
Pagi itu saya coba mempersiapkan semua perlengkapan yang sekiranya saya butuhkan selama di Kamojang, antara lain:
1. Jas Almamater
2. Jaket tebal
3. Safety Shoes (pinjam Ari Fadlansyah)
4. Modem
5. Alat mandi
6. Pakaian ganti
7. Sepatu
8. Sandal
9. Tool Kit (Terminal, alat jahit, lem, gunting, dll)
10. Buku catatan + alat tulis
11. Laptop
12. Charger HP + Powerbank
13. dan hal lain yang dianggap perlu
Selesai berkemas, semua barang saya masukan ke tas ransel (carier bag juga bagus) sempatkan membuat tulisan di Facebook bertema sistem birokrasi negriku dan aktivitas pemudanya, serta telaah keadaan pendidikan negri ini.
Hingga waktu keberangkatan tiba saya sempatkan sholat ashar berjamaah dulu dan minum jamu buatan ibu (lazisss :p). Saat itu saya sempat membawa tas peralatan bekam saya dengan niat untuk terus bersyi'ar tibbun nabawi meski sedang merantau di kota orang. Tak lupa juga bawa bekal makanan khas Madiun (pasti tahu kan, yap SAMBEL PECEL)
Sesampainya di stasiun Madiun saat pukul 15.36 ternyata kereta Kahuripan sudah sedia menunggu, langsung saya tanya petugas tempat duduk saya yang alhamdulillah di gerbong 4 nomor 20 C. Langsung naik dan sampai di tempat duduk saya taruh satu tas ransel berisi barang dan satu tas berisi peralatan bekam yang di rak atas tempat duduk. Saya pun duduk dengan nyaman di samping seorang bapak yang berangkat dari kediri dan di depan saya ada ibu dan anak yang bernama mas Rahman asal Cilacap yang naik dari Tulungagung. Kami berkenalan bercengkrama dan bercerita pengalaman masing-masing sampai kehabisan bahan pembicaraan.
1. Jas Almamater
2. Jaket tebal
3. Safety Shoes (pinjam Ari Fadlansyah)
4. Modem
5. Alat mandi
6. Pakaian ganti
7. Sepatu
8. Sandal
9. Tool Kit (Terminal, alat jahit, lem, gunting, dll)
10. Buku catatan + alat tulis
11. Laptop
12. Charger HP + Powerbank
13. dan hal lain yang dianggap perlu
Selesai berkemas, semua barang saya masukan ke tas ransel (carier bag juga bagus) sempatkan membuat tulisan di Facebook bertema sistem birokrasi negriku dan aktivitas pemudanya, serta telaah keadaan pendidikan negri ini.
Hingga waktu keberangkatan tiba saya sempatkan sholat ashar berjamaah dulu dan minum jamu buatan ibu (lazisss :p). Saat itu saya sempat membawa tas peralatan bekam saya dengan niat untuk terus bersyi'ar tibbun nabawi meski sedang merantau di kota orang. Tak lupa juga bawa bekal makanan khas Madiun (pasti tahu kan, yap SAMBEL PECEL)
Sesampainya di stasiun Madiun saat pukul 15.36 ternyata kereta Kahuripan sudah sedia menunggu, langsung saya tanya petugas tempat duduk saya yang alhamdulillah di gerbong 4 nomor 20 C. Langsung naik dan sampai di tempat duduk saya taruh satu tas ransel berisi barang dan satu tas berisi peralatan bekam yang di rak atas tempat duduk. Saya pun duduk dengan nyaman di samping seorang bapak yang berangkat dari kediri dan di depan saya ada ibu dan anak yang bernama mas Rahman asal Cilacap yang naik dari Tulungagung. Kami berkenalan bercengkrama dan bercerita pengalaman masing-masing sampai kehabisan bahan pembicaraan.
Mas Rahman utra Cilacap
Saat itu saya sangat berkesan dengan cerita perjalanan mas Rahman, dia bekerja bersama kontraktor renovasi gedung di Tangerang, Balikpapan dan Jakarta. Dari ceritanya saya tercengang ketika mendengar cerita kehidupan di Balikpapan yang kalau dibandingkan dengan hidup di Jawa sampai tiga kali lipat biaya hidupnya. Di Balikpapan, makan dengan uang Rp 10.000,00 baru dapat nasi kucing kata dia, padahal kalau di Surabaya (khususnya di Kampung Keputih sekitar ITS) sudah dapat lauk ikan, minum dan sayur yang cukup. Belum lagi biaya kos, di Balikpapan dia pernah tinggal di rumah kontrakan yang sebulannya Rp 6.000.000,00 juga pernah yang seharga Rp 1.500.000,00 per bulan dengan fasilitas yang sederhana, kalau dibandingkan di Surabaya juga itu sudah dapat kamar AC, kamar mandi dalam, laundry dan lainnya lah. Dalam hati kubilang,'busset mahal banget biaya hidup di Balikpapan'. Selanjunya dia juga bercerita tentang kehidupan seorang pekerja kontraktor di beberapa kota yang dia pernah ngerjain proyek. Dari ceritanya saya dapat menarik beberapa hikmah,
1. Koruptor itu ada di berbagai lapisan masyarakat di negri ini. Yang nampang di TV mereka adalah maling yang sopan dan cerdas. Mereka mengambil harta orang dengan kata-kata yang intelek dan pakaian yang rapi berdasi. Namun di kalangan kontraktor juga ada maling yang mendapat label preman. Mereka biasa menarik 'upeti' ke kontraktor dengan dalih 'uang keamanan' padahal juga sebenarnya yang mengancam keamanan mereka sendiri. Tidak cukup di situ ternyata para preman ini sering juga mengambil material bahan bangunan yang sedang di bongkar muat oleh kontraktor. Dari sini seakan terlihat wajar kalau para pejabar dan kontraktor selalu melakukan 'mark up' proposal pembangunan yang mereka ajukan ke pemerintah maupun pengusaha. Beberapa bagian jatah untuk maling berdasi di pemerintahan, beberapa bagian untuk maling berlabel preman, belum lagi pelaksana proyek yang kadang juga usil dengan mengurangi jatah material. Yah inilah negeriku negeri yang tetap harus dibela dan diperjuangkan bagaimanapun keadaannya.
2. Ternyata para penghuni di pulau borneo mayoritas bukan lagi pribumi borneo. Sudah banyak orang-orang migran dari Madura, Jawa, Sumatra dan Sulawesi yang mengisinya. Dan malah para penduduk asli sudah banyak yang tersingkir di pinggiran pulau berbentuk semar itu. Bahkan kata kang Rahman 30% lebih itu orang Madura.
3. Dia juga bercerita tentang seorang kawannya yang telah bekerja di Pertamina Cilacap. Dulu ketika masih sama-sama kecil mereka selalu main bersama, sekolah bersama dan sangat akrab. Namun setelah si kawan tadi bekerja di Pertamina, dan sudah mampu berkendara mobil, seakan dia lupa bahwa pernah berkawan dengan kang Rahman. Suatu ketika pernah mereka berpapasan dan kang Rahman menyapa, eh malah si kawan tadi diam tanpa kata bak tak melihat ada orang yang menyapanya. Batinku,'kukira kejadian itu hanya ada di sinetron, eh ternyata beneran ada, naudzubillah min dzalik'.
Singkat cerita sampai pukul 22.00 akhirnya kang Rahman dan ibunya turun di stasiun Cilacap (saya lupa nama stasiunnya hahaha :D).
Akhirnya tinggal saya dan bapak yang ternyata mengaku berasal dari daerah Pasar Kembang Surabaya. Kami bercengkrama hangat dan terbuka hingga bangku depan yang semula kosong diisi kembali oleh sepasang suami istri yang menggendong seorang bayi laki-laki mungil yang lelap tertidur.
Singkat cerita tibalah kami di stasiun Kiara Condong Bandung pukul 05.30 (molor satu jam dari jadwal aslinya, yah inilah Indonesiaku). Akhirnya saya dan tetangga bangku pun terpaksa harus berpisah.
Saya turun kereta dan bertanya pada petugas keamanan stasiun arah terminal leuwi panjang. Beliau dengan santun mengarahkan,'keluar dari stasiun belok kanan, jalan terus nanti ketemu pasar, disana ada angkot warna merah ada tulisannya 05, silahkan naik itu'. 'Terimakasih banyak a' sahutku kemudian'. Saya berjalan menuju arah yang ditujukan bapak penjaga keamanan tadi, namun bukan langsung ingin ke leuwi panjang, saya ingin mencari masjid dulu karena belum sholat shubuh. Sambil berjalan dan bertanya ke beberapa orang akhirnya saya melihat menara masjid di seberang pasar. Saya berjalan menyusuri gang-gang perumahan dan bertemulah dengan masjid Darush Sholihien. Di masjid ini saya segera ambil wudhu dan sholat dua rakaat ketika sampai di tempat tujuan safar, kemudian sholat shubuh. Lepas sholat saya bertemu dengan ta'mir masjid yang menrut saya kisaran berusia 60an tahun. Beliau berpesan,'dik, kalau ingin sukses jangan cuma andelin kemampuan otak, harus banyak doa, jaga sholat fardhu, jangan pernah lepas sholat malam, puasa senin kamis, minta didoakan orangtua, tapi kamu juga harus tetep berdoa biar sinkron nah doanya sama orangtua (dengan logat khas sunda)'. Beliau juga menyarankan kalau mau ke Leuwi Panjang nanti bagusnya jalan ke arah selatan dulu arah kantor polisi, naik angkot merah 05 yang ada tulisannya LWP atau Panjang.
Perjalanan pun saya lanjutkan dengan naik angkot Leuwi Panjang 05 warna merah menuju terminal leuwi panjang. Sekitar 30 menit dengan ongkos Rp 6.000,00 akhirnya saya sampai di Terminal Leuwi Panjang pukul 07.00. Disana saya sudah disambut dengan beberap bis dan Elp (cara ngomong orang sunda tanpa F). Sayapun berganti armada dengan bis jurusan Bandung-Garut. Sebenarnya secara normal tarif bis Bandung-Garut Rp 15.000,00 namun karena saya dapat bis AC dan lewat Tol akhirnya tarifnya jadi Rp 25.000,00 itu pun sempat di protes semua penumpang, meski ujungnya tetap dibayar Rp 25.000,00. Di sepanjang jalan saya serasa menjadi turis, dimana semua orang bercakap dengan bahasa sunda dan saya tidak paham sama sekali, hahahaha.
Sepanjang perjalanan saya melalui jalur nagrek yang sering ditampilkan di liputan lebaran sebagai jalur yang rawan kecelakaan. Memang jalannya menanjak agak curam, bahkan bis yang saya tumpangi selalu bermain rem saat lewat jalur itu. Sambil tetap menikmati perjalanan yang kanan kiri adalah bukit saya terus berdzikir. Terkadang juga saya sempat terkantuk beberapa waktu. Singkat cerita setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam sampailah saya di terminal Garut pukul 09.00 WIB. Sampai di terminal Garut saya turun dan langsung mencari armada menuju komplek perumahaman pertamina geothermal energy. Seorang supir angkit berteriak, 'SAKIT, SAKIT' dengan armadanya berwarna biru kehijauan seperti warna telur bebek/telur asin. Akhirnya saya naik angkutan kota itu dan duduk dimuka (kayak lagu delman, hahaha :D).
Setelah perjalanan sekitar 30 menit, sampailah saya di gerbang komplek perumahan PGE Kamojang. Langsung saat itu saya menuju masjid untuk sholat dua rakaat safar dan sekalian sholat dhuha di masjid Nurul Iman.
Setelah selesai, saya bertanya pada Pak Supriantono yang ternyata adalah orang Cepu Jawa Tengah alamat rumah kawan saya di Griya Bahagia. Sambil bercakap tibalah ibu kawan saya yang sudah saya hubungi sebelumnya, dan kami menuju rumah beliau yang sampai tulisan ini dibuat sementara saya tinggal disana.
Waktu dhuhur tiba, dan saya bergegas ke masjid Nurul Iman tadi untuk mengumandangkan adzan Lohor (bahasa setempat). Singkat cerita kami sholat dhuhur. Lepas sholat dhuhur ternyata si Bu Vivi ibu kawan saya tadi sudah menunggu di depan masjid untuk menyampaikan kalau beliau mau keluar rumah ada keperluan. Sambil menyampaikan, kami bertemu dengan Pak Ujang Mulyana, asisten manager PGE Kamojang (Bapak Tavip Dwikorianto) kata ibu Vivi kepada saya. Setelah diperkenalkan dengan beliau dan sedikit bercengkrama akhirnya saya bersama ibu pulang. Di komplek tadi saya sempat bertemu mas Nur, seorang pria paruh baya asal Klaten yang telah tinggal di Garut sejak 1994. Beliau bercerita bahwa memiliki jaringan kawan di seluruh garut, yang bahkan lebih tahu detil daerah-daerah di Garut dibandingkan warga aslinya (keren bener nih orang pikirku hahaha :D). Dari beliau saya diberi kontak pak Bambang Topo di Kamojang yang akan dimintai tolong untuk mencarikan kos yang sesuai disana dan saya disuruh mengaku sebagai saudara dari mas Nur tadi (memang saudara dekat, meski hanya sama-sama orang sekitar jawa tengah, kalau bertemu di rantau secara otomatis saling bantu hahahaha :D).
Sorenya saya menyempatkan bermain bola dengan adik kawan saya bernama Zainy, seorang bocah yang masih duduk di bangku kelas 2 SD, berambut keriting di bagian belakang panjang. Kami bermain penuh canda, seakan saya melihat di raut senyumnya, sudah lama dia tidak bermain bersama kawan hingga lepas seperti sore itu. Kami pun lanjutkan bercengkrama bersama kakek, nenek, ibu dan bapak kawan saya yang sangat berjasa Ari Fadlansyah.
Hari pertama di tanah Sunda yang berkesan, meski cukup 'roaming' dengan bahasa sunda, namun saya yakin ini adalah jalan yang Alloh 'Azza wa Jalla berikan kepada saya untuk menapaki puncak kesuksesan dunia yang mengiringi kesuksesan akhirat saya. ^_^
Semoga cerita perjalanan ini bermanfaat buat kawan-kawan yang ingin plesir ke kamojang ^_^, silahkan di share seluasnya jika memang bermanfaat ^_^.
2. Ternyata para penghuni di pulau borneo mayoritas bukan lagi pribumi borneo. Sudah banyak orang-orang migran dari Madura, Jawa, Sumatra dan Sulawesi yang mengisinya. Dan malah para penduduk asli sudah banyak yang tersingkir di pinggiran pulau berbentuk semar itu. Bahkan kata kang Rahman 30% lebih itu orang Madura.
3. Dia juga bercerita tentang seorang kawannya yang telah bekerja di Pertamina Cilacap. Dulu ketika masih sama-sama kecil mereka selalu main bersama, sekolah bersama dan sangat akrab. Namun setelah si kawan tadi bekerja di Pertamina, dan sudah mampu berkendara mobil, seakan dia lupa bahwa pernah berkawan dengan kang Rahman. Suatu ketika pernah mereka berpapasan dan kang Rahman menyapa, eh malah si kawan tadi diam tanpa kata bak tak melihat ada orang yang menyapanya. Batinku,'kukira kejadian itu hanya ada di sinetron, eh ternyata beneran ada, naudzubillah min dzalik'.
Singkat cerita sampai pukul 22.00 akhirnya kang Rahman dan ibunya turun di stasiun Cilacap (saya lupa nama stasiunnya hahaha :D).
Akhirnya tinggal saya dan bapak yang ternyata mengaku berasal dari daerah Pasar Kembang Surabaya. Kami bercengkrama hangat dan terbuka hingga bangku depan yang semula kosong diisi kembali oleh sepasang suami istri yang menggendong seorang bayi laki-laki mungil yang lelap tertidur.
Kasih orangtua pada putra kecilnya
Singkat cerita tibalah kami di stasiun Kiara Condong Bandung pukul 05.30 (molor satu jam dari jadwal aslinya, yah inilah Indonesiaku). Akhirnya saya dan tetangga bangku pun terpaksa harus berpisah.
Saya turun kereta dan bertanya pada petugas keamanan stasiun arah terminal leuwi panjang. Beliau dengan santun mengarahkan,'keluar dari stasiun belok kanan, jalan terus nanti ketemu pasar, disana ada angkot warna merah ada tulisannya 05, silahkan naik itu'. 'Terimakasih banyak a' sahutku kemudian'. Saya berjalan menuju arah yang ditujukan bapak penjaga keamanan tadi, namun bukan langsung ingin ke leuwi panjang, saya ingin mencari masjid dulu karena belum sholat shubuh. Sambil berjalan dan bertanya ke beberapa orang akhirnya saya melihat menara masjid di seberang pasar. Saya berjalan menyusuri gang-gang perumahan dan bertemulah dengan masjid Darush Sholihien. Di masjid ini saya segera ambil wudhu dan sholat dua rakaat ketika sampai di tempat tujuan safar, kemudian sholat shubuh. Lepas sholat saya bertemu dengan ta'mir masjid yang menrut saya kisaran berusia 60an tahun. Beliau berpesan,'dik, kalau ingin sukses jangan cuma andelin kemampuan otak, harus banyak doa, jaga sholat fardhu, jangan pernah lepas sholat malam, puasa senin kamis, minta didoakan orangtua, tapi kamu juga harus tetep berdoa biar sinkron nah doanya sama orangtua (dengan logat khas sunda)'. Beliau juga menyarankan kalau mau ke Leuwi Panjang nanti bagusnya jalan ke arah selatan dulu arah kantor polisi, naik angkot merah 05 yang ada tulisannya LWP atau Panjang.
Masjid Badrus Sholihien
Perjalanan pun saya lanjutkan dengan naik angkot Leuwi Panjang 05 warna merah menuju terminal leuwi panjang. Sekitar 30 menit dengan ongkos Rp 6.000,00 akhirnya saya sampai di Terminal Leuwi Panjang pukul 07.00. Disana saya sudah disambut dengan beberap bis dan Elp (cara ngomong orang sunda tanpa F). Sayapun berganti armada dengan bis jurusan Bandung-Garut. Sebenarnya secara normal tarif bis Bandung-Garut Rp 15.000,00 namun karena saya dapat bis AC dan lewat Tol akhirnya tarifnya jadi Rp 25.000,00 itu pun sempat di protes semua penumpang, meski ujungnya tetap dibayar Rp 25.000,00. Di sepanjang jalan saya serasa menjadi turis, dimana semua orang bercakap dengan bahasa sunda dan saya tidak paham sama sekali, hahahaha.
Sepanjang perjalanan saya melalui jalur nagrek yang sering ditampilkan di liputan lebaran sebagai jalur yang rawan kecelakaan. Memang jalannya menanjak agak curam, bahkan bis yang saya tumpangi selalu bermain rem saat lewat jalur itu. Sambil tetap menikmati perjalanan yang kanan kiri adalah bukit saya terus berdzikir. Terkadang juga saya sempat terkantuk beberapa waktu. Singkat cerita setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam sampailah saya di terminal Garut pukul 09.00 WIB. Sampai di terminal Garut saya turun dan langsung mencari armada menuju komplek perumahaman pertamina geothermal energy. Seorang supir angkit berteriak, 'SAKIT, SAKIT' dengan armadanya berwarna biru kehijauan seperti warna telur bebek/telur asin. Akhirnya saya naik angkutan kota itu dan duduk dimuka (kayak lagu delman, hahaha :D).
Setelah perjalanan sekitar 30 menit, sampailah saya di gerbang komplek perumahan PGE Kamojang. Langsung saat itu saya menuju masjid untuk sholat dua rakaat safar dan sekalian sholat dhuha di masjid Nurul Iman.
Setelah selesai, saya bertanya pada Pak Supriantono yang ternyata adalah orang Cepu Jawa Tengah alamat rumah kawan saya di Griya Bahagia. Sambil bercakap tibalah ibu kawan saya yang sudah saya hubungi sebelumnya, dan kami menuju rumah beliau yang sampai tulisan ini dibuat sementara saya tinggal disana.
Waktu dhuhur tiba, dan saya bergegas ke masjid Nurul Iman tadi untuk mengumandangkan adzan Lohor (bahasa setempat). Singkat cerita kami sholat dhuhur. Lepas sholat dhuhur ternyata si Bu Vivi ibu kawan saya tadi sudah menunggu di depan masjid untuk menyampaikan kalau beliau mau keluar rumah ada keperluan. Sambil menyampaikan, kami bertemu dengan Pak Ujang Mulyana, asisten manager PGE Kamojang (Bapak Tavip Dwikorianto) kata ibu Vivi kepada saya. Setelah diperkenalkan dengan beliau dan sedikit bercengkrama akhirnya saya bersama ibu pulang. Di komplek tadi saya sempat bertemu mas Nur, seorang pria paruh baya asal Klaten yang telah tinggal di Garut sejak 1994. Beliau bercerita bahwa memiliki jaringan kawan di seluruh garut, yang bahkan lebih tahu detil daerah-daerah di Garut dibandingkan warga aslinya (keren bener nih orang pikirku hahaha :D). Dari beliau saya diberi kontak pak Bambang Topo di Kamojang yang akan dimintai tolong untuk mencarikan kos yang sesuai disana dan saya disuruh mengaku sebagai saudara dari mas Nur tadi (memang saudara dekat, meski hanya sama-sama orang sekitar jawa tengah, kalau bertemu di rantau secara otomatis saling bantu hahahaha :D).
Sorenya saya menyempatkan bermain bola dengan adik kawan saya bernama Zainy, seorang bocah yang masih duduk di bangku kelas 2 SD, berambut keriting di bagian belakang panjang. Kami bermain penuh canda, seakan saya melihat di raut senyumnya, sudah lama dia tidak bermain bersama kawan hingga lepas seperti sore itu. Kami pun lanjutkan bercengkrama bersama kakek, nenek, ibu dan bapak kawan saya yang sangat berjasa Ari Fadlansyah.
Kamar tidur sementara
Hari pertama di tanah Sunda yang berkesan, meski cukup 'roaming' dengan bahasa sunda, namun saya yakin ini adalah jalan yang Alloh 'Azza wa Jalla berikan kepada saya untuk menapaki puncak kesuksesan dunia yang mengiringi kesuksesan akhirat saya. ^_^
Semoga cerita perjalanan ini bermanfaat buat kawan-kawan yang ingin plesir ke kamojang ^_^, silahkan di share seluasnya jika memang bermanfaat ^_^.
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.